Sabtu, 24 Mei 2008

INGAT INGATLAH .....

KENAIKAN BBM 30% BERDAMPAK BENTROK POLISI VS MAHASISWA DI KAMPUS UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

Mahasiswa Unas: Polisi Menjarah Koperasi Mahasiswa

Irwan Nugroho - detikcom
Jakarta - Minuman sachet, buku tulis, dan alat tulis lainnya yang berada di dalam Koperasi Mahasiswa (Kopma) Universitas Nasional terlihat berceceran di lantai. Rak-rak tempat menaruh barang dagangan juga sudah berdiri tak beraturan.

Begitulah kondisi ruangan berukuran 2x3 m2 tersebut. Isinya sudah carut marut bersama pecahan kaca. Tidak ada lagi barang-barang tertata rapi.

"Polisi melakukan penjarahan di Kopma. Di kopma barang-barangnya habis semua. Rokok juga diambil. Duit, minuman-minuman, pintu kopma didobrak," kata Abhe, mahasiswa fakultas hukum yang juga menjaga Kopma Unas, ditemui di Kampus Unas, Jl Sawo Manila, Pejaten, Jakarta, Sabtu (24/5/2008).

Dari pantauan detikcom, pintu kopma rusak akibat dibuka paksa. Gemboknya patah. Ketika masuk ke dalam, di lantai berserakan semua barang dagangan. Minuman-minuman kaleng dan gelas yang ada di dalam 2 kulkas hanya tinggal beberapa saja.

Beberapa mahasiswa masih bergerombol tidak jauh dari kopma yang berada di gedung serbaguna, menyatu dengan gedung perpustakaan pusat. Di depan kopma hanya ada satpam yang berjaga-jaga.

"Kita marah dengan polisi karena kampus kita dihancurin oleh polisi. Kita nggak nyangka polisi masuk ke dalam kampus. Kan tidak ada peraturan yang memperbolehkan mereka masuk ke dalam kampus," kata Oting, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Unas, dengan kesal.

Menurutnya, polisi bukan hanya menjarah kopma. Barang milik pribadi mahasiswa seperti dompet dan handphone disita. "Lihat, tas kami kosong. Semuanya dibawa oleh polisi," ketus Oting.
( ana / nik )

PETANI KULI DI LAHAN SENDIRI

Oleh Mukhamad Kurniawan

Bibit padi telah ditanam. Lahan garapan Harun (54) seluas 0,25 hektar telah dipenuhi padi jenis ciherang yang dibelinya dari bandar. Gabah hasil panen terakhir sebagian besar dijual untuk modal tanam. Ia bahkan harus berutang pupuk, pestisida, dan kebutuhan lainnya dengan sistem bayar panen (yarnen). Masa pinjaman empat bulan dengan bunga sekitar 16 persen. "Modal sering habis di awal untuk mengolah tanah, membeli benih, dan ongkos menanam. Kalau tiba-tiba butuh pestisida, ya, pinjam dulu, nanti bayar seusai panen," tutur petani di Desa Kutapohaci, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ini.

Seperti kebanyakan petani penggarap, sistem yarnen menjadi andalan untuk menutup kebutuhan produksi yang mendesak. Mereka bisa meminjam pupuk atau pestisida sesuai jumlah kebutuhannya.Namun, karena sistem itu, tak jarang petani justru kesulitan mengatur keuangannya. Ongkos produksi juga membengkak karena tanggungan bunga. Apalagi, jika panen gagal, utang pun menumpuk.

"Harga jual gabah beberapa musim panen terakhir memang tinggi. Namun, jangan salah, ongkos produksi dan harga barang kebutuhan juga melambung," ujar Uje (65), petani di Desa Cikalongsari, Kecamatan Jatisari, Karawang. Harga jual gabah kering pungut (GKP) memang relatif tinggi sejak beberapa musim terakhir, yaitu di kisaran Rp 2.000-Rp 2.300 per kilogram. Namun, hasil bersihnya dinilai masih minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi bagi petani dengan luas lahan di bawah 0,5 hektar.

Uje menambahkan, modal sebesar Rp 2,5 juta yang ia pinjam harus dikembalikan Rp 3 juta atau berbunga sekitar 20 persen. "Kalau melebihi tempo empat bulan, sesuai kesepakatan, bunganya dihitung lagi. Bebannya otomatis tambah banyak," tuturnya menambahkan.Sebagian besar petani di daerahnya menggarap sawah sewaan atau mengolah dengan sistem maro (bagi hasil). Sisanya menggarap lahan sendiri, tetapi kepemilikannya rata-rata di bawah 0,5 hektar. Lahan sawah di tepi jalan kabupaten atau jalan kecamatan—serta sawah yang mendapat pengairan cukup—disewakan Rp 3 juta-Rp 5 juta per bahu per tahun.

"Sekarang kebanyakan dengan sistem sewa daripada maro karena pemilik lahan tidak mau tahu dengan hasil panen. Penggarap masih untung kalau hasilnya bagus. Namun, kalau hasil panen sedikit, dia sendiri yang menanggung rugi," ungkap Uje.Pemilik modal dan lahan semakin untung, sedangkan petani tanpa lahan harus berspekulasi dengan situasi dan hasil panen. Adapun pemilik lahan minim, harus puas dengan pendapatan minim.

Menurut Uje, kalau harga gabah tinggi, cuacanya mendukung, atau serangan hama tidak banyak, petani bisa sedikit untung. Masalahnya kan harga pupuk, pestisida, dan lainnya tidak pernah turun, sementara harga gabah naik-turun tak tentu.

Melemahkan petani
Akibat tidak punya lahan, pemuda di sejumlah daerah di Karawang memilih bekerja di pabrik daripada bekerja di sawah. Menurut mereka, pendapatan dari bekerja di pabrik lebih pasti daripada dari sawah."Teman-teman seangkatan saya sebagian besar memilih kerja di pabrik. Hanya yang punya sawah luas yang sekarang bertani," ungkap Sayudin (21), pemuda warga Desa Rawagempol Wetan, Kecamatan Cilamaya Wetan, Karawang.

Pernyataan Sayudin mengisyaratkan bahwa profesi petani kini semakin dijauhi generasi muda, bahkan di daerah lumbung padi. Menurut dia, bertani belum menjadi pilihan yang membanggakan. Bertani masih identik dengan kotor, lelah, dan penghasilan rendah.Engkat Sukatma (65), Ketua Lembaga Pemberdayaan Petani Nelayan Karawang (LP2NK), menilai, minimnya minat generasi muda ke sawah salah satunya karena akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan petani.

Di samping itu, kebijakan pemerintah yang mengimpor beras atau menaikkan harga eceran pupuk pun terus berulang hampir setiap tahun. Belum lagi soal subsidi petani yang tidak tepat sasaran, tidak adanya jaminan harga gabah, serta sejumlah kebijakan yang melemahkan petani.

Akumulasi dari sejumlah situasi itu semakin menguatkan stigma petani sebagai profesi yang kurang menguntungkan. Wajar jika kemudian generasi muda menjauhi sawah. Atau bahkan petani itu sendiri yang meninggalkan profesi dengan menjual sawahnya.

Data dari Badan Agraria Kabupaten Karawang tahun 2004 menunjukkan, sejak tahun 1993 hingga 2003 tercatat penyusutan lahan sawah di Karawang mencapai 2.000,56 hektar. Rata-rata penyusutannya mencapai 181,87 hektar per tahun dengan porsi terbesar digunakan untuk pembangunan perumahan, yaitu sebanyak 54,6 persen, sedangkan 34,4 persen lainnya digunakan untuk pembangunan industri.

Tumbuhnya sektor industri di daerah lumbung padi dengan lahan pertanian sekitar 95.000 hektar itu dinilai berdampak pada penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2003, pekerja di sektor pertanian masih mencapai 41,9 persen dari total angkatan kerja. Namun, jumlahnya menurun menjadi 27,67 persen di tahun 2004.

Tidak serius
Adapun pekerja di sektor industri meningkat dari 19,75 persen di tahun 2003 menjadi 22,73 persen di tahun 2004. Demikian juga pekerja di sektor jasa yang meningkat dari 38,35 persen menjadi 49,6 persen.

Beberapa pengamat menilai timpangnya pembangunan sektor industri dengan pertanian mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah membangun sektor pertanian. Padahal, ketidakseimbangan akan menyebabkan salah satu sektor terpinggirkan, marjinal, dan semakin ditinggalkan.

Masalah irigasi, misalnya, perbaikan atau pembangunannya tak pernah sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Masalah lainnya, lahan pertanian terus menyusut. Pada saat yang sama, dari waktu ke waktu bangunan-bangunan pabrik, pertokoan, serta perumahan berdiri nyaris tanpa kendali.

Meski berfungsi vital bagi petani, kondisi saluran irigasi justru tidak semakin baik. Dampaknya, selain mengurangi pasokan air efektif ke sawah, masalah kekeringan saat kemarau dan banjir saat musim hujan, terutama di wilayah persawahan di pesisir utara Jawa Barat, selalu berulang setiap tahun.

Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Karawang mencatat, panjang saluran induk di Karawang mencapai total 480,813 kilometer serta saluran sekunder 78,978 km. Dari jumlah itu, sebanyak 30 persen di antaranya rusak berat, 30 persen rusak ringan, dan 40 persen dalam kondisi baik.

Adapun saluran tersier mencapai 320,36 kilometer. Dari jumlah itu, sebanyak 82 persen atau 262,69 kilometer di antaranya rusak, 55 persen rusak berat serta 27 persen rusak ringan. Adapun 18 persen lainnya masih baik. Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) dari daerah-daerah lumbung padi juga mengindikasikan bahwa bertani semakin tidak menguntungkan. Ironisnya, tak sedikit warga yang harus menjual lahannya untuk modal bekerja ke luar negeri.

Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Buruh Migran Karawang mencatat, sebagian besar TKI asal Karawang adalah warga dari desa-desa penghasil padi yang memiliki lahan pertanian luas. Desa-desa itu sebagian besar berada di daerah pesisir utara Karawang. Meski tidak ada jaminan sukses bekerja di luar negeri, menjual sebagian atau seluruh lahan miliknya untuk modal masih menjadi pilihan bagi sejumlah warga.

KEWAJIBAN INTELEKTUAL BAGI REPUBLIK


"Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini….Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan."
(Pramoedya Ananta Toer)


Membicarakan sosok yang satu ini, memang takkan ada habisnya. Seorang yang tanpa basa-basi, meledak-ledak, tak merunduk, serupa api membakar, beradu seperti alu dan beras. Dan kemarahan itu terutama sekali ditujukan kepada kolonialisme, feodalisme, Liberalisme, kapitalis, kelaliman penguasa, dan terutama kepada sang korup. Ya bung Pramoedya Ananta Toer. Sosok yang tak ada habisnya, sosok yang akan selalu dikenang di dalam dunia sastra republik ini, dunia sastra untuk sebuah perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Apabila kita coba telaah konsepsi-konsepsi pemikiran dari bung Pram, akan tersirat berbagai harapan bagi kaum intelektual Indonesia, agar bisa menjadi kaum yang mengabdikan keilmuannya untuk kemanusiaan, keadilan serta nilai-nilai kebenaran yang kian hari, kian surut di republik ini. Dimana si bung mengatakan “Dan bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.”

Karena itu, tugas kaum intelektual adalah menegakkan kesejahteraan sosial dan meralisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, karena tetes keringat dan usaha rakyatlah maka kelompok kelas menengah di Indonesia, bisa menikmati fasilitas pendidikan, yang kemudian menjadikan mereka sebagai kelompok masyarakat yang terpandang dan memiliki kelebihan dibanding masyarakat awam.

Lalu dimanakah tanggung jawab sosial kelas menengah ini? Mari dengar ungkapan bung Pram, “Aku menulis, bicara, berbuat, tidak pernah khusus untuk diri sendiri, langsung atau tidak, tak ada seorang seniman berseni untuk diri sendiri, masturbasi. Ada faal social di dalamnya, makin dikembangkan faal social itu semakin baik. Tak ada orang makan untuk makan.”

Tanggung jawab sosial inilah yang harus diperhatikan kaum intelektual di Indonesia. Terlebih kelompok kelas menengah ini, memiliki kecenderungan untuk berdiri di dua sisi: mereka bisa terus berada di garis untuk mengabdikan kemampuan intelektualnya bagi nilai-nilai kemanusiaan atau mereka akan mengabdikan kemampuan intelektual mereka untuk kepentingan individu mereka.

Di satu pihak, dengan munculnya efek industrialisasi, sebagian besar kaum intelektual terserap ke dalamnya, menjadi tenaga-tenaga ahli untuk menjalankan perputaran roda-roda industrialisasi. Di dalam dunia itu, mereka dituntut untuk memiliki profesionalisme dan loyalitas yang tinggi kepada sang majikan, tempat mereka mengabdikan ilmunya tersebut. Akibatnya, tidak jarang nilai-nilai kemanusiaannya terkebiri, cenderung menggiring manusia, khususnya kaum-kaum intelektual teralienasi dari nilai-nilai sosial. Untuk soal ini, bung Pram mengungkapkan, “Bangsa Indonesia adalah”een natie van koelies, en een koeli onder de naties”(bangsa yang terdiri dari kuli, kuli di antara bangsa-bangsa). Kuli ini sebenarnya terbagai atas dua golongan: yang meneteskan keringat dan yang tidak. Yang tidak berkering dinamai priyayi. Apakah para ahli dan sarjana itu datang ke desa sebagai yang tidak berkeringat menengok yang berkeringat??...Bukankah sebelum pertanian dapat ditingkatkan jadi industri, sebelum dihapusnya pembatasan tanah sampai 2-3 ha, tani masih tetap golongan yang berkeringat dan berkedudukan setinggi lutut berbanding yang tidak berkeringat??..selama keadaan tani masih tetap sebagai penyembah tanah, kedudukan sosialnya tetap seperti jaman batu, dan kolonial.”

Ketika para intelektual telah melupakan kewajiban sosialnya, maka diibaratkan republik ini akan kehilangan rohnya, kehilangan induk ataupun kehilangan sutradara dari sebuah lakon perubahan sosial. Sang sutradara telah diambilalih oleh sebuah kekuatan besar yang telah membelokkan kewajiban sosial dari kaum intelektual Indonesia. Dari yang harusnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran menjadi bertanggung jawab kepada mesin-mesin industrialisasi. Maka, bung Pram pun mengutarakan, dalam sejarah umat manusia selalu bisa ditemukan bangsa-bangsa besar yang jatuh menukik jadi bangsa kelas kambing, bangsa yang mengadabkan umat manusia jatuh jadi bangsa penggembala, bahkan bangsa Indonesia yang pernah merajai lautan bisa jadi bangsa kuli selama tigaratus limapuluh tahun atau bahkan seterusnya, bangsa Indian yang merajai perairan tanpa tepi, bisa tersorong masuk dalam reservat para pendatang dan punah. Sekarang, tinggal bagaimana kaum intelektual Indonesia memilih.***

HARI PEREMPUAN SEDUNIA 8 MARET 2008




Pernyataan Sikap
Hari Perempuan Sedunia

”MENGAKHIRI KEMISKINAN DENGAN BERPOLITIK”

RUU Pemilu telah disahkan. Beberapa pasal yang dianggap krusial bagi kepentingan partai politik akhirnya selesai, UU Pemilu adalah taruhan sekaligus jawaban bagi rakyat ke arah mana politik/kekuasaan berpihak. Bagi perempuan, kuota 30% adalah kesempatan untuk berjuang dalam arena politik yang masih didominasi kaum laki-laki.

Belajar dari 4 tahun terakhir pasca-Pemilu 2004, rakyat menerima akibat buruk dari wajah kekuasaan yang ternyata tidak memiliki sense kerakyatan. Berbalik dari janji-janji kampanye, dimana para politisi menebar pesona dengan mantra prorakyat dan pro demokrasi, nyatanya, rakyat dijerumuskan. Setelah meraih kemenanganan, pasangan SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sejatinya lebih berpihak kepada pemilik modal. Kasus lumpur Lapindo, telah menjadi pembuktian kepada seluruh rakyat, bahwa Pemerintah SBY-Kalla tidak bernyali menghadapi tekanan modal. kini lumpur Lapindo dibiarkan melebar, mengaliri urat nadi perkampungan dan perekonomian rakyat. Berbagai persoalan yang menyentakkan kemanusiaan kita, terjadi silih berganti. Tanpa solusi yang memadai dan terkesan dilakukannya pembiaran........

Bagi perempuan, ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah sosial-ekonomi, mempengaruhi kondisi sosial dan personalnya sebagai perempuan. Karena di tengah masyarakat yang masih patriarkhal, perempuan menanggung beban ganda. Di satu sisi, keperempuanannya disubordinatkan, tetapi di sisi lain, dieksploitasi. Ketika subsidi BBM dipotong, serta merta perempuan menjadi pihak pertama yang melakukan antri minyak. Perempuan juga yang harus mengelola keuangan dan mempertahankan asap dapur.

Menjadi tidak mengherankan, bila di tengah 94% penduduk Indonesia yang mengalami depresi , dimana perempuan mayoritas di dalamnya. Sementara itu, diperkirakan ada 50 ribu orang Indonesia melakukan bunuh diri setiap tahun. Hal ini disebabkan beratnya masalah sosial seperti pengangguran, penggusuran, mahalnya biaya hidup, dll .

Oleh karena itu, saatnya bagi gerakan perempuan untuk melakukan terobosan perjuangan untuk perubahan Karena di situlah segala produk hukum dan politik disahkan. Segala kompromi politik yang seringkali menafikan kepentingan rakyat dan bangsa. Pemerintah rela menjual tanah dan isinya untuk pembesaran modal asing. UU Penanaman Modal yang merestui pemakaian lahan selama 90 tahun dan dapat diperpanjang, adalah bagian dari skenario ekonomi-politik global yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Sehingga apa yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, bagi kemaslahatan rakyat banyak justru dirusak oleh para elit politiknya. akibatnya, kaum perempuan harus menanggung penderitaan yang berkepanjangan di berbagai sektor kehidupan. Hak-hak ekonomi-politiknya diabaikan. Untuk itulah, dalam tiga tahun usia SDI yang bersamaan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia, Srikandi Demokrasi Indonesia, menyatakan secara tegas bahwa:

Untuk keluar dari lingkaran kemiskinan struktural yang telah akut ini, maka aktivis perempuan dan aktivis prodemokrasi lainnya, harus masuk dan terlibat penuh dalam wilayah politik, baik di legislatif maupun eksekutif, dan juga di jabatan struktur lainnya karena dengan perempuan berada diwilayah politik maka diharapkan mempercepat bangsa ini keluar dari jerat kemiskinan.

Maka dengan tegas kami menuntut kepada Pemerintah SBY-Kalla untuk segera menurunkan harga sembako, minyak goreng, beras, tepung terigu, hingga kenaikan harga tahu tempe, diantaranya dengan cara mengembalikan subsidi yang pantas diterima rakyat, sekali lagi mengembalikan subsidi yang pantas diterima rakyat, menghentikan praktek kartel untuk tepung terigu, gula, kedelai dll mengatur tata niaga minyak goreng dan menghentikan eksport CPO besar besaran keluar negeri karena pajak eksport CPO lebih rendah dari harga CPO internasional, padahal Indonesia penghasil CPO terbesar kedua didunia, namun 2/3 CPO dieksport keluar negeri, sungguh ironis...... ”.

Maka berhentilah bermain main dengan retorika, manakala SBY meminta agar tidak mempolitisasi kemiskinan, pada situasi yang bersamaan apakah tidak boleh para perempuan menggugat kemiskinan ? tentu saja sangat dibenarkan, kenapa ? senyatanya kemiskinan telah berakibat buruk bagi kesehatan serta gizi ibu dan anak anak, meningkatnya drop out pelajar sekolah dan mahasiswa, menurunnya pendapatan dan melemahnya daya beli rakyat, jangan biarkan rakyat diambang batas kesabarannya. Jangan biarkan perempuan menanggung derita yang tak berujung.... CUKUP...! !
Jangan lagi ada Basse-Basse lainnya

’TURUNKAN HARGA”


Jakarta, 8 Maret 2008
Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI)
Nuraini
(Humas 0817 6655 800)

DPP SDI : Dewi Djakse SH........................
DPD SDI Provinsi DKI Jakarta : Ita Nurhayati, SE. .....................
DPD SDI Provinsi Banten : Sri Hartati..................................
DPD SDI Provinsi Jawa Barat : Wiwin ........................................
DPD SDI Provinsi Bali : Anak Agung Tira.......................
DPD SDI Provinsi NTB : Dra Ernawati.............................



MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

NASIONAL KARAKTER BUILDING

Sudah jelas bahwa mental inlander complex yang mendera kita harus diberantas dengan nation character building. Istilah ini dipopulerkan oleh Soekarno pada jamannya yang sesungguhnya me-refer pada budaya asli bangsa kita: gotong royong.

Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan satu substansial dasar negara dengan 3 versi, yaitu: Pancasila, Trisila dan Ekasila (Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi - Ir Soekarno). Pancasila terdiri dari ketuhanan (religiositas), kemanusiaan (humanitas), persatuan (nasionalitas), kerakyatan (soverenitas), dan keadilan sosial (sosialitas). Trisila terdiri dari sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan. Sementara ekasila dimaknai sebagai gotong royong. Soekarno menyebutnya, “Dari Pancasila bisa diperas menjadi Ekasila.” Jadi gotong royong itu sebenarnya adalah Pancasila juga.

Seandainya hanya satu prinsip yang diminta, Soekarno mengatakan harus digali dari tujuan membangun Indonesia, yaitu “semua untuk semua.” Harus dicatat bahwa Indonesia didirikan bukan hanya untuk orang jawa saja atau untuk umat muslim saja, tapi Indonesia buat Indonesia. Kata yang diusulkan adalah kata Indonesia asli: gotong royong (Soekarno: Bapak Bangsa Indonesia - MM Darmawan, 2005).

Gotong royong bukanlah sikap kekurangberanian, kurang percaya diri, atau sikap tidak mandiri. Mengacu pada Indonesia Baru – Anand Krishna, 2005, gotong royong tidak selalu berarti orang-orang sekampung menyumbang ketika kita terkena musibah. Gotong royong juga tidak cuma berarti kita membantu tetangga memperbaiki atap rumahnya. Interpretasi-interpretasi seperti ini justru mengkhianati semangat gotong royong itu sendiri.

Mohon dicatat juga bahwa gotong royong juga berarti kita membantu tetangga kita memberdayakan dirinya, supaya ia mampu memperbaiki sendiri rumahnya. Gotong royong juga berarti memberdayakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak menjadi beban bagi tetangga kita. Hanyalah gotong royong seperti itu yang memiliki arti lebih dan memiliki makna yang lebih berarti (p4-5). Gotong royong berarti setiap anak bangsa berjuang bersama untuk memberdayakan dirinya masing-masing (p5).

Gotong royong tidak sama dengan amal-saleh atau dana-punia atau charity. Semua itu hanya menyuburkan benih-benih kelemahan dan ketakpercayaan diri dalam diri para penerima, dan keangkuhan dalam diri para pemberi (p5-6). Gotong royong berarti memikul bersama beban negara dan bangsa ini (p 6). Gotong royong tidak mengenal tangan di bawah atau tangan di atas. Seorang pemberi yang egois tidak lebih baik dari seorang penerima yang lemah (p8).

Gotong royong berarti bahu-membahu. Gotong royong berarti saling bergandengan tangan. Gotong royong adalah sebuah “kesadaran” bahwa kita semua adalah putra-putri ibu pertiwi. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, walaupun aplikasinya, pelaksanaannya, penerjemahannya dalam hidup sehari-hari bisa berbeda (p8-9).

Gotong royong adalah dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.

Penutup Pendidikan jelas tidak bisa ditinggalkan. Bukan melulu pendidikan ilmu-ilmu empiris seperti sains, budaya, ataupun bahasa; melainkan juga pendidikan karakter (character building). Kita memang sudah (dan sedang) menjalankan itu semua. Tapi apa benar semua sudah tepat, terarah, terukur, dan efektif? Kadang saya merasa kasihan karena seorang murid mengemban beban kurikulum terlalu berat. Pokoknya, murid harus tahu segalanya, karena toh tidak ada ilmu yang tidak berguna. Padahal, bukan itu esensi pendidikan yang sesungguhnya.

Kita juga sering lupa bahwa pendidikan juga tidak melulu dilakukan lewat sekolah, kampus, atau kegiatan non kurikuler. Pendidikan bisa dilakukan kapan saja dimana saja. Pendidikan bahkan bisa disebarkan dengan media apapun juga, termasuk blog. Jadi, sejatinya, kita semua juga bisa ikut berperan aktif dalam pendidikan bangsa ini.

Oh iya, jelas perlu waktu dan effort luar biasa untuk mengubah sikap mental ini. Resistensi terhadap status quo pun begitu kuat. Walau begitu, saya lebih menyikapinya sebagai sebuah langkah positif yang harus dipaksakan. Harapan tentu bergantung pada Anda, saya, dan kita semua. Susah kan mengubah pola pikir dan tindak tanduk bila kita saja nggak pernah sadar?

Jumat, 23 Mei 2008

kami perempuan indonesia korban bbm

Kami Cuma para perempuan biasa
Kami cuma perempuan yang punya sederet impian dan harapan
Dan kalau boleh sederet keinginan
Tentang para suami kami yang dapat pekerjaan
Atau anak anak kami yang tidak kelaparan
Juga tentang dapur kami yang tetap berasap
Atau susu yang mudah terjangkau
Pendidikan murah bagi anak anak kami
kesehatan yang dapat diakses dengan mudah dan murah
atau kerinduan kami terhadap murahnya harga sembako
dan sederet keinginan seperti keinginan perempuan di republik ini
kami Cuma para perempuan yang ngga sempurna
tapi kami tahu apa yang kami perlu
bukan ruu pornografi, yang amburadul
atau perda Tibum DKI yang bikin bingung
kami tidak benci tapi sebel terhadap kemiskinan
kami cuma para perempuan biasa
yang juga sebel terhadap kemunafikan….”